
Dalam dunia akademik, integritas intelektual merupakan prinsip fundamental yang menjaga kepercayaan terhadap karya ilmiah.
Salah satu pelanggaran etika yang sering kurang dipahami adalah self-plagiarism. Meskipun tidak melibatkan pencurian karya orang lain, praktik ini tetap berdampak serius pada kredibilitas akademik.
Artikel ini menjelaskan definisi self-plagiarism, alasan mengapa harus dihindari, dan implikasinya dalam konteks keilmuan.
Self-plagiarism, atau plagiarisme diri, terjadi ketika seorang penulis menggunakan kembali sebagian besar atau seluruh karya sebelumnya—seperti teks, data, atau ide—tanpa pengakuan atau kutipan yang memadai, seolah-olah karya tersebut baru.
Menurut American Psychological Association (2020), self-plagiarism mencakup pengulangan publikasi (duplicate publication) atau penyampaian ulang konten tanpa izin dari penerbit sebelumnya.
Meskipun karya tersebut milik penulis sendiri, praktik ini dianggap tidak etis karena menyesatkan pembaca mengenai orisinalitas dan kontribusi ilmiah karya baru.
Baca Juga: Cara Mengutip dengan Benar untuk Menghindari Plagiarisme
Inilah beberapa alasan mengapa Self-Plagiarism Harus Dihindari, simak sebagai berikut:
Self-plagiarism adalah praktik tidak etis yang melibatkan penggunaan ulang karya sendiri tanpa pengakuan, merugikan orisinalitas dan integritas akademik.
Alasan untuk menghindarinya mencakup pelanggaran etika, kerusakan reputasi, pelanggaran hukum, dan dampak negatif pada kepercayaan publik.
Untuk menjaga standar keilmuan, penulis harus memastikan setiap karya baru memberikan kontribusi orisinal, mengutip karya sebelumnya dengan tepat, dan mematuhi pedoman penerbit. Dengan menghindari self-plagiarism, penulis tidak hanya melindungi reputasi mereka, tetapi juga memperkuat tradisi akademik yang etis dan inovatif.