
Menerjemahkan hasil penelitian ke dalam bahasa yang mudah dipahami pembuat kebijakan adalah langkah strategis untuk meningkatkan dampak akademik dalam pengambilan keputusan publik. Tanpa komunikasi yang efektif, riset hanya akan berakhir di rak perpustakaan.
Artikel ini membahas metode dan strategi praktis yang bisa digunakan oleh akademisi dan peneliti agar karya ilmiahnya dapat dimanfaatkan secara nyata oleh para pemangku kebijakan.
Bahasa dalam publikasi ilmiah umumnya:
Pembuat kebijakan memiliki keterbatasan waktu dan latar belakang akademik yang berbeda. Jika hasil riset tidak dikomunikasikan secara sederhana dan aplikatif, maka potensi dampaknya bisa hilang.
Hindari istilah akademik yang sulit dan buat padanan yang umum dipahami. Misalnya:
Policy brief adalah ringkasan hasil riset sepanjang 2-4 halaman yang menjawab:
Policy brief terbukti efektif digunakan oleh banyak lembaga seperti LIPI, Bappenas, dan The Conversation.
Baca juga: Bagaimana Akademisi Bisa Terlibat dalam Pembuatan Kebijakan?
Jelaskan secara langsung:
Studi kasus membuat temuan riset terasa lebih konkret. Misalnya:
“Hasil penelitian menunjukkan bahwa program pelatihan wirausaha di desa X meningkatkan pendapatan rumah tangga sebesar 35% dalam waktu 6 bulan.”
LIPI merangkum riset energi terbarukan dalam bentuk policy brief yang kemudian digunakan oleh Kementerian ESDM untuk menyusun roadmap energi nasional.
Penelitian dari Fakultas Teknik UI dikemas ulang dalam bentuk infografik yang menarik untuk diserahkan kepada Dinas Perhubungan DKI Jakarta. Hasilnya, integrasi moda transportasi di Jabodetabek jadi prioritas pembangunan.
Menerjemahkan hasil riset menjadi bentuk yang mudah dipahami bukanlah bentuk menyederhanakan makna, tetapi menjembatani dunia akademik dengan dunia kebijakan. Tujuannya adalah agar riset memberikan dampak nyata dalam pengambilan keputusan.
Jika peneliti ingin risetnya berguna, maka kemampuan komunikasi menjadi sama pentingnya dengan metodologi penelitian itu sendiri.
1. Apa itu policy brief?
Dokumen ringkas yang menjelaskan masalah, temuan, dan rekomendasi kebijakan dari suatu penelitian.
2. Apakah semua peneliti harus bisa menyederhanakan risetnya?
Idealnya, ya. Namun, peneliti juga bisa berkolaborasi dengan komunikator sains atau jurnalis sains.
3. Apakah menyederhanakan riset berarti mengurangi kualitas ilmiahnya?
Tidak, selama substansi dan akurasi tetap dipertahankan.
4. Siapa saja yang bisa membuat policy brief?
Akademisi, lembaga penelitian, mahasiswa S2/S3, atau LSM.
5. Di mana bisa belajar membuat policy brief?
Ada pelatihan dari lembaga seperti Kemendikbudristek, UNESCO, atau online di Coursera dan FutureLearn.