
Pernahkah kamu mendengar rekan peneliti yang karyanya disalin mentah-mentah tanpa izin? Atau mungkin kamu sendiri khawatir hasil tulisanmu diklaim orang lain? Nah, hak cipta harus dipahami oleh setiap penulis jurnal.
Mengapa hak cipta harus dipahami oleh setiap penulis jurnal? Karena tanpa pemahaman yang cukup, risiko pelanggaran dan pencurian karya ilmiah bisa terjadi kapan saja.
Hak cipta bukan sekadar simbol © di bagian bawah halaman. Ia adalah fondasi perlindungan terhadap kerja keras intelektual seorang penulis.
Apalagi bagi kamu yang berkecimpung di dunia akademik, hak cipta bisa menjadi garis pembeda antara dihargainya hasil penelitianmu atau justru menjadi korban penjiplakan.
Hak cipta adalah hak eksklusif yang dimiliki oleh pencipta karya, termasuk penulis jurnal ilmiah, untuk mengatur penggunaan, distribusi, dan reproduksi dari karyanya.
Dalam konteks jurnal, hak cipta seringkali diatur dalam perjanjian publikasi antara penulis dan penerbit.
Namun sayangnya, tidak semua penulis memahami isi kontrak yang mereka tandatangani. Banyak dari mereka yang tanpa sadar melepaskan hak eksklusif atas karya mereka ke penerbit, sehingga mereka tidak lagi bebas menyebarkan atau memodifikasi tulisan sendiri.
Ada beberapa alasan kuat yang membuat pemahaman soal hak cipta menjadi hal wajib bagi semua penulis jurnal. Yuk, kita bahas satu per satu.
Hak cipta adalah bentuk perlindungan hukum dari penjiplakan. Dengan memahami hak cipta, kamu bisa menindak pelaku plagiarisme yang mencuri atau menyalahgunakan karyamu.
Penulis jurnal bertanggung jawab atas orisinalitas karyanya. Hak cipta memastikan bahwa hasil penelitian dan pemikiranmu terakui secara sah.
Kalau kamu paham hak cipta, kamu bisa memilih apakah karyamu ingin kita sebarluaskan secara terbuka (open access) atau terbatas, serta di bawah lisensi apa (misalnya Creative Commons).
Tanpa pemahaman tentang hak cipta, kamu bisa terjebak dalam sengketa hukum, baik karena melanggar hak orang lain atau karena hakmu sendiri dilanggar.
Beberapa jurnal berbayar atau berlisensi memungkinkan penulis mendapatkan royalti. Tapi ini hanya bisa terjadi kalau kamu tahu dan tidak menyerahkan hak sepenuhnya ke penerbit.
Bayangkan kamu menulis artikel ilmiah selama berbulan-bulan. Lalu seseorang menerbitkannya ulang atas namanya tanpa kamu tahu.
Kalau kamu tidak mendaftarkan atau menjaga hak cipta, akan sangat sulit menuntut secara hukum.
Lebih dari itu, ketidaktahuan bisa membuatmu menandatangani kontrak yang merugikan. Misalnya, kamu tidak bisa mengunggah artikelnya ke repository kampus atau membagikannya ke mahasiswa karena penerbit memegang hak eksklusif.
Setiap jurnal biasanya memiliki kebijakan sendiri terkait hak cipta. Berikut beberapa bentuk umum yang harus kamu kenali:
Copyright Transfer Agreement (CTA): Penulis menyerahkan seluruh hak cipta ke penerbit.
License to Publish (LTP): Penulis tetap memiliki hak cipta, tapi memberi izin kepada penerbit untuk menerbitkan.
Open Access License: Hak cipta tetap milik penulis, dan karya tersebarluaskan bebas dengan lisensi tertentu (seperti CC BY).
Sebelum menandatangani perjanjian, baca baik-baik. Jangan anggap semua kontrak sama. Kadang satu kata bisa mengubah arti dan hakmu sebagai penulis.
Berikut beberapa langkah praktis yang bisa kamu lakukan agar hak cipta atas jurnalmu aman:
Gunakan Lisensi Terbuka Secara Bijak
Kalau ingin berbagi ke publik, gunakan lisensi seperti Creative Commons tapi tetap cantumkan namamu sebagai pencipta.
Daftarkan Karya ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual
Meski tidak wajib, pendaftaran akan memudahkan proses hukum jika ada pelanggaran.
Perhatikan Metadata saat Submit Jurnal
Informasi ini sering diabaikan, padahal mencantumkan penulis dengan benar penting untuk pengakuan hak cipta.
Gunakan ORCID
Ini adalah ID digital penulis akademik. ORCID membantu identifikasi dan pelacakan karya ilmiah agar tidak orang lain klaim.
Hindari Publikasi di Jurnal Predatory
Jurnal palsu atau abal-abal seringkali menyalahgunakan hak cipta dan merusak reputasi akademik.
Di beberapa kasus, penulis jurnal tidak bisa mengakses atau membagikan hasil penelitiannya sendiri karena hak ciptanya sudah terambil alih penerbit. Padahal, mereka membiayai seluruh proses penelitian secara mandiri.
Ada pula yang karyanya dicuri dan dimuat ulang di jurnal tak terkenal. Karena tidak punya bukti sah kepemilikan, si penulis kesulitan melakukan klaim.
Hak cipta bukan cuma soal hukum, tapi juga menyangkut etika. Mengutip dengan benar, meminta izin, dan tidak menjiplak adalah bentuk penghargaan terhadap sesama akademisi.
Kalau kamu ingin hargai, maka kamu juga harus menghargai karya orang lain. Lingkungan akademik yang sehat dimulai dari pemahaman hak cipta yang kuat.
Jadi, mengapa hak cipta harus dipahami oleh setiap penulis jurnal? Karena hak cipta bukan sekadar formalitas, tapi kunci utama dalam menjaga orisinalitas, kredibilitas, dan perlindungan hukum atas karya ilmiah yang kamu buat.
Hak cipta adalah kepemilikan atas karya, sedangkan lisensi Creative Commons adalah cara penulis membagikan karyanya kepada publik dengan aturan tertentu.
Tidak semua. Beberapa hanya meminta lisensi menerbitkan, dan penulis tetap memiliki hak cipta.
Tergantung perjanjian. Jika penulis sudah menyerahkan seluruh hak cipta, biasanya tidak boleh tanpa izin tertulis.
Tidak wajib, tapi sangat kita sarankan untuk perlindungan hukum yang lebih kuat.
Baca laman “Author Guidelines” atau “Copyright Policy” di website jurnal tersebut. Jika tidak jelas, kamu berhak bertanya langsung kepada editor.